Minggu, 16 Oktober 2011

Nabi Muhammad Saw Yang Ummy

Disadari atau tidak, wujud Tuhan pasti dirasakan oleh jiwa manusia baik redup atau benderang. Manusia menyadari bahwa suatu ketika dirinya akan mati. Kesadaran ini mengantarkannya kepada pertanyaan tentang apa yang akan terjadi sesudah kematian, bahkan menyebabkan manusia berusaha memperoleh kedamaian dan keselamatan di negeri yang tak dikenal itu.


Wujud Tuhan yang dirasakan, serta hal-ihwal kematian, merupakan dua dari sekian banyak faktor pendorong manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan memperoleh informasi yang pasti. Sayangnya tidak semua manusia mampu melakukan hal itu. Namun, kemurahan Allah menyebabkan-Nya memilih manusia tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk periode dan masyarakat tertentu maupun untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas itulah yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (Utusan Tuhan).
Jumlah mereka secara pasti tidak diketahui. Al-Quran hanya menginforrnasikan bahwa,
“Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun kecuali telah pernah diutus kepadanya seorang pembawa peringatan” (QS Fathir [35]: 24).
Al-Quran juga menyatakan kepada Nabinya bahwa,
“Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu, di antara mereka ada yang telah kami sampaikan kisahnya, dan ada pula yang tidak Kami sampaikan kepadamu” (QS Al-Mu’min [40]: 78)
Al-Quran menyebutkan secara tegas nama dua puluh lima Nabi/Rasul; delapan belas di antaranya disebutkan dalam Al-Quran surat Al-An’am (6): 83-86, sisanya didapatkan dari berbagai ayat.
Nabi Muhammad Saw. seperti dinyatakan Al-Quran surat Al-A’raf (7): 158 -diutus kepada seluruh manusia, dan beliau merupakan khataman nabiyyin (penutup para nabi) (QS Al-Ahzab [33]: 40).
Masa Prakelahiran
Al-Quran menegaskan bahwa para nabi telah pernah diangkat janjinya untuk percaya dan membela Nabi Muhammad Saw.
“Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi, ‘Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang membenarkan kamu, niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’” (QS Ali’Imran [3]: 81)
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda,
“Demi (Allah) yang jiwaku berada pada genggaman-Nya, seandainya Musa a.s. hidup, dia tidak dapat mengelak dan mengikutiku” (HR Imam Ahmad)
Tidak jelas kapan dan bagaimana perjanjian yang disinggung ayat tersebut. Setidaknya, ia mengisyaratkan bahwa Allah Swt. telah merencanakan sesuatu untuk Nabi Muhammad Saw., jauh sebelum kelahiran beliau. Karena itu pula sementara pakar menyatakan bahwa kematian ayah beliau sebelum kelahiran, kepergiannya ke pedesaan menjauhi ibunya, serta ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi yang dipersiapkan Tuhan kepada beliau untuk dijadikan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia kelak.
Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi’ul Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah (hamba Allah) , ibunya Aminah (yang memberi rasa aman),
kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa’ (yang sempurna dan sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa’diyah (yang lapang dada dan mujur). Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran surat Al-A’raf (7): 157 juga menginformasikan bahwa Nabi Muhammad Saw. pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara lain disebabkan mereka mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil (QS Al-A’raf [7]: 157).
Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Quran itu, dapat terbaca antara lain dalam Pertanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2:
“… bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran.”
Pemahaman mereka berdasarkan analisis berikut: “Gunung Paran” menurut Kitab Pertanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat putra Ibrahim -yakni Nabi Ismail- bersama ibunya Hajar memperoleh air (Zam-Zam). Ini berarti bahwa tempat tersebut adalah Makkah, dan dengan demikian yang tercantum dalam Kitab Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya wahyu Ilahi: Thur Sina tempat Nabi Musa a.s., Seir tempat Nabi Isa a.s. , dan Makkah tempat Nabi Muhammad Saw. Sejarah membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah.
Karena itu pula wajar jika Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 146 menyatakan bahkan mereka itu mengenalnya (Muhammad Saw.), sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, bahkan salah
seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu Abdullah bin Salam pernah berkata, “Kami lebih mengenal dan lebih yakin tentang kenabian Muhammad Saw. daripada pengenalan dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan kami menyeleweng.”
Masa Prakenabian
Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. sebelum kenabian beliau. Antara lain,
“Bukankah Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu, dan Dia mendapatimu bimbang, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu, dan Dia mendapatimu dalam keadaan kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?” (QS Al-Dhuha [93]: 6-8).
Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan dilindungi oleh paman dan kakeknya. Beliau hidup di dalam keresahan dan kebimbangan melihat sikap masyarakatnya, lalu Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul. Beliau hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan
warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah memberinya kecukupan, khususnya menjelang dan saat hidup berumah tangga dengan istrinya, Khadijah a.s.
Ayat lain yang oleh ulama dianggap berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. pada masa kanak kanaknya, adalah surat Alam Nasyrah ayat pertama:
“Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu?”
Sebagian ulama mengartikan kata nasyrah dengan “memotong/membedah”. Memang, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat materi, artinya demikian. Apabila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, kata itu mengandung arti membuka, memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan dan semaknanya.
Yang mengaitkan dengan hal-hal materi berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang “pembedahan” yang pernah dilakukan oleh para malaikat terhadap Nabi Muhammad Saw. kala beliau remaja.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh mufasir An -Naisaburi.
Tetapi sepanjang penelitian penulis kata tersebut dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 5 kali, dan tidak satu pun yang digunakan dengan arti harfiah, apalagi bermakna pembedahan. Akan lebih jelas lagi jika hal itu disejajarkan dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa a.s. di dalam
Al-Quran.
“Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS Thaha [20]: 25-28)
Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak pernah membaca satu kitab atau menulis satu kata sebelum datangnya wahyu Al-Quran.
“Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya (Al-Quran), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu, (andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan
benar-benar ragulah orang yang mengingkari-(mu)” (QS Al-’Ankabut [29]: 48).
Ayat ini secara pasti menyatakan bahwa beliau Saw. adalah orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Banyak ulama yang memahami bahwa kendatipun kemudian Nabi Saw. menganjurkan umatnya belajar membaca dan menulis, namun beliau sendiri tidak melakukannya, karena Allah Swt. ingin menjadikan beliau sebagai bukti bahwa informasi yang diperolehnya benar-benar bukan bersumber dari manusia, melainkan dari Allah Swt.
Ada juga ulama yang memahami bahwa ketidakmampuan beliau membaca hanya terbatas sampai sebelum terbukti kebenaran ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti -setelah hijrah ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut pendukungnya ide ini dikuatkan antara lain oleh kata “sebelumnya” yang terdapat pada ayat di atas.
Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran (QS Al-A’raf [7] 157 dan 158) , dan keduanya menjadi sifat Nabi Muhammad Saw. Memang kedua ayat itu turun di Makkah, meskipun ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan,
“Dia (Allah) yang mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta huruf), seorang Rasul di antara mereka” (QS Al-Jum’ah [62]: 2)
Di sisi lain, harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti kelemahan seseorang.
Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis, dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia bermohon,
“Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis) bagi kami adalah aib.”
Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal tidak sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah diperoleh.
Masa Kenabian
Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat Al-Ahqaf ayat 15 sebagai usia kesempurnaan, Muhammad Saw. diangkat menjadi Nabi. Ditandai dengan turunnya wahyu pertama Iqra’ bismi Rabbik.
Sebelumnya beliau tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan kedudukan yang demikian terhormat. Karena itu ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang menguraikan sikap beliau terhadap wahyu dan memberi kesan bahwa pada mulanya beliau sendiri “ragu” dan gelisah mengenai hal yang dialaminya. QS Yunus
(10): 94 mengisyaratkan bahwa,
“Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci sebelum kamu (QS Yunus [10]: 94).
Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau nanti-nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah Swt. bermaksud menjadikan beliau lebih merindukan lagi “sang kekasih dan firman-firman-Nya” agar semakin mantap cinta beliau kepada-Nya.
Surat Adh-Dhuha menyatakan sekelumit hal itu, sekaligus sekilas kedudukan beliau di sisi Allah. Surat ini turun berkenaan dengan kegelisahan Nabi Muhammad Saw. karena ketidakhadiran Malaikat Jibril membawa wahyu setelah sekian kali sebelumnya datang.
“Demi adh-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula membenci (mu dan siapa pun).
Mengapa adh-dhuha -yakni “matahari ketika naik sepenggalah”-yang dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Saw., atau apakah adh-dhuha ada kaitannya dengan ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi?
Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan.
Di sini Allah Swt. melambangkan kehadiran wahyu selama ini sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran wahyu dinyatakan dengan kalimat, “Demi malam ketika hening.”
Dari kedua hal yang bertolak belakang itu, Allah menafikan dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Muhammad Saw. telah ditinggalkan oleh Tuhannya, atau bahkan Tuhan telah membencinya. Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, karena kenyataan sehari-hari membuktikan kekeliruan ucapan seperti itu. Nah, ketidakhadiran wahyu beberapa saat tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir lagi atau Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.
Ketidakhadiran antara lain menjadi isyarat kepada Nabi Muhammad Saw. untuk beristirahat, karena “malam” dijadikan Tuhan sebagai waktu “beristirahat.”
Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran wahyu justru pada saat Nabi Muhammad menanti-nantikannya, membuktikan bahwa wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa.
Kenabian Muhammad Saw. bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk menyatakan hal itu,
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang diperbuat terhadapku, tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.’” (QS Al-Ahqaf [46]: 9)
Namun demikian’ kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat,
“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Wahai seluruh manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua’” (QS Al-A’raf [7]: 158)
Ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad Saw. hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.
Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Makkah beliau telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia.
“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Wahai seluruh manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua.’” (QS
Al-A’raf [7]: 158).
Ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang berada di Makkah, bahkan menurut sementara ulama, semua ayat Al-Quran yang dimulai dengan panggilan “Wahai seluruh manusia,” semuanya turun di Makkah kecuali beberapa ayat.
Perbedaan yang lain adalah para nabi sebelum beliau selalu mengaitkan kenabian dengan hal-hal yang bersifat suprarasional, baik berbentuk sihir, pengetahuan gaib, mimpi-mimpi, dan lain-lain.
Isa a.s. misalnya bersabda,
“Sesungguhnya Aku telah datang kepadamu dengan membawa bukti (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat burung untuk kamu dari tanah, kemudian aku meniupnya sehingga ia menjadi burung dengan seizin Allah, dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak (lepra), dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan kepadamu yang kamu makan dan yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu tanda (mukjizat tentang kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (QS Ali ‘Imran [3]: 49)
Dalam Perjanjian Baru, Isa a.s. juga menyatakan, “Jangan percaya padaku, jika aku tidak mengerjakan pekerjaan Bapak …”
Demikian halnya Isa a.s. dan para nabi sebelumnya. Oleh karena itu, ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang bersifat suprarasional, Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyampaikan kalimat-kalimat berikut:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.’” (QS Al-’Ankabut [29]: 50)
Dr. Nazme Luke, seorang pendeta Mesir, berkomentar bahwa menghidupkan orang mati, mengembalikan penglihatan orang buta, dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat mengagumkan, tetapi tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk membuktikan bahwa 2+2 = 5.
Masyarakat pada masa Isa a.s. membutuhkan bukti-bukti yang bersifat suprarasional, karena mereka belum mencapai tingkat kedewasan yang memadai. Hal ini, tulisnya, sama dengan membujuk anak kecil untuk makan, padahal jika telah dewasa, ia akan makan tanpa dibujuk.
Memang Nabi Muhammad Saw. tidak mengandalkan hal-hal yang bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya.
Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran dan diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan
Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero, Worship and the Heros in History dengan menggunakan tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will Durant dalam The Story of Civilization in the World dengan tolok ukur hasil karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Buddha, and Christ, dengan
tolok ukur keberanian moral, Nazme Luke dalam Muhammad Al-Rasul wa Al-Risalah dengan tolok ukur metode pembuktian ajaran, serta Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan tolok ukur pengaruh serta sederetan pakar lainnya.
“Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan karakter Muhammad (Saw.), hanya mempunyai perasaan hormat saja terhadap Nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari sang Pencipta,” demikian Annie Besant menulis dalam The Life and Teachings of Muhammad.
Dalam konteks ini Al-Quran surat Alam Nasyrah ayat 4 menyatakan,
“Sesungguhnya Kami pasti akan meninggikan namamu.”
Dalam ayat lain dinyatakan:
“Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad Saw.), dan Kami telah (pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)” (QS Al-Nisa’ [4]: 174).
Akhlak dan Fungsi Kenabian Muhammad Saw.
Al-Quran mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw. memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi adalah keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga yang antara lain menyatakan bahwa:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung” (QS Al-Qalam [68]: 4).
Kata “di atas” tentu mempunyai makna yang sangat dalam, melebihi kata lain, misalnya, pada tahap/ dalam keadaan akhlak mulia.
Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran surat Al-An’am ayat 90 menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul. Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada Nabi Muhammad Saw.,
“Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh.”
Ulama-ulama tafsir menyatakan bahwa Nabi Saw. pasti memperhatikan benar pesan ini. Hal itu terbukti antara lain, ketika salah seorang pengikutnya mengecam kebijaksanaan beliau saat membagi harta rampasan perang, beliau menahan amarahnya dan menyabarkan diri dengan berkata,
“Semoga Allah merahmati Musa a s. Dia telah diganggu melebihi gangguan yang kualami ini, dan dia bersabar (maka aku lebih wajar bersabar daripada Musa a s.).”
Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa pastilah Nabi Muhammad Saw. telah meneladani sifat-sifat terpuji para nabi sebelum beliau Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah dalam berdakwah. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang yang amat pemurah, serta amat tekun bermujahadah mendekatkan diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi yang amat menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s., Yahya a.s., dan Isa a.s., adalah nabi-nabi yang berupaya menghindari kenikmatan dunia demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat bersyukur dalam nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. diketahui sebagai nabi yang amat khusyuk ketika berdoa, Nabi Musa terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki ketegasan, Nabi Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh dengan
kelemahlembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad Saw. meneladani semua keistimewaan mereka itu.
Ada beberapa sifat Nabi Muhammad Saw. yang ditekankan oleh Al-Quran, antara lain,
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia), serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS Al-Tawbah [9]: 128).
Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi mengajak mereka beriman (baca QS Syu’ara [26]: 3). Begitu luas rahmat dan kasih sayang yang dibawanya, sehingga menyentuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.
Sebelum Eropa memperkenalkan Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan,
“Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan baik.”
“Seorang wanita terjerumus ke dalam neraka karena seekor kucing yang dikurungnya.”
“Seorang wanita yang bergelimang dosa diampuni Tuhan karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.”
Rahmat dan kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada benda-benda tak bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai, pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan benda-benda tak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih sayang, dan
persahabatan.
Diakui bahwa Muhammad Saw. diperintahkan Allah untuk menegaskan bahwa,
“Aku tidak lain kecuali manusia seperti kamu, (tetapi aku) diberi wahyu …” (QS Al-Kahf [18]: 110).
Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama
jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa tafsir Al-Quran, “Yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah bukan pada insaniyah.” Perhatikan bunyi firman tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.
Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah Swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan)
“Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian.” (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia
Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim kontemporer menguraikan bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun beribadah.
Sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. membuktikan bahwa beliau menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut. Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta
pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum berganda kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui kacamata ilmu dan kemanusiaan, dan kedua kali pada saat memandangnya dengan kacamata iman dan agama.
Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw., antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.
Di sini fungsi beliau sebagai syahid/syahid akan dijelaskan agak mendalam.
Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad Saw.) menjadi saksi terhadap kamu … (QS Al-Baqarah [2]: 143)
Kata syahid/syahid antara lain berarti “menyaksikan,” baik dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam
ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada di antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi umat-umat yang lain, sedangkan Rasulullah Saw. yang juga berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan
bagi umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. akan menjadi saksi di hari kemudian terhadap umatnya dan umat-umat terdahulu, seperti bunyi firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa’ (4): 41:
Maka bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami menghadirkan seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami hadirkan pula engkau (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka (QS Al-Nisa, [4]: 41).
Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang menelusuri jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka yang menurut Ibnu Sina disebut “orang yang arif,” mampu memandang rahasia Tuhan yang terbentang melalu qudrat-Nya.
Tokoh dari segala saksi adalah Rasulullah Muhammad Saw. yang secara tegas di dalam ayat ini dinyatakan “diutus untuk menjadi syahid (saksi).”
Sikap Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad Saw.
Dari penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. telah diseru oleh Allah dengan nama-nama mereka; Ya Adam…, Ya Musa…, Ya Isa…, dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw., Allah Swt. sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan, seperti Ya ayyuhan Nabi…, Ya ayyuhar Rasul…, atau memanggilnya dengan panggilan-panggilan mesra, seperti Ya ayyuhal muddatstsir, atau ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalau pun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi dengan gelar kehormatan. Perhatikan firman-Nya dalam surat Ali-’Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan Al-Shaff (61): 6.
Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa Al-Quran berpesan kepada kaum mukmin.
“Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain… (QS Al-Nur [24]: 63).
Sikap Allah kepada Rasul Saw. dapat juga dilihat dengan membandingkan sikap-Nya terhadap Musa a.s.
Nabi Musa a.s. bermohon agar Allah menganugerahkan kepadanya kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala persoalannya.
“Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku (QS Thaha [20]: 25-26).
Sedangkan Nabi Muhammad Saw. memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah dalam surat Alam Nasyrah, Bukankah Kami telah melapangkan
dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1).
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa bermohon tentunya lebih dicintai daripada yang bermohon, baik permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak.
Permohonan Nabi Musa a.s. adalah agar urusannya dipermudah, sedangkan Nabi Muhammad Saw. bukan sekadar urusan yang dimudahkan Tuhan, melainkan beliau sendiri yang dianugerahi kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi -dengan pertolongan Allah-beliau akan mampu menyelesaikannya. Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad dalam surat Al-A’la (87): 8:
“Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah.”
Mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena satu dan lain sebab-tidak mampu menghadapinya. Tetapi jika yang bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan
tetap akan terselesaikan.
Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja. Juga dengan keistimewaan kedua, yaitu “jalan yang beliau tempuh selalu dimudahkan Tuhan” sebagaimana tersurat dalam firman Allah, “Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah.” (QS Al-A’la [87]: 8).
Dari sini jelas bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad Saw. melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa a.s., karena beliau tanpa bermohon pun memperoleh kemudahan berganda, sedangkan Nabi Musa a.s. baru memperoleh anugerah “kemudahan urusan” setelah mengajukan permohonannya.
Itu bukan berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. dimanjakan oleh Allah, sehingga beliau tidak akan ditegur apabila melakukan sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan.
Dari Al-Quran ditemukan sekian banyak teguran-teguran Allah kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut.
Perhatikan teguran firman Allah ketika beliau memberi izin kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang.
“Allah telah memaafkan kamu. Mengapa engkau mengizinkan mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah terbukti bagimu siapa yang berbohong dalam alasannya, dan siapa pula yang berkata benar (QS Al-Tawbah [9]: 43)
Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa beliau telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan “kekeliruannya.”
Teguran keras baru akan diberikan kepada beliau terhadap ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui secara pasti orang yang diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun ketika beliau merasa dapat menetapkan siapa yang berhak disiksa.
“Engkau tidak mempunyai sedikit urusan pun. (Apakah) Allah menerima tobat mereka atau menyiksa mereka (QS Ali ‘Imran [3]: 128).
Perhatikan teguran Allah dalam surat ‘Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau melayani orang buta yang datang meminta untuk belajar pada saat Nabi Saw. sedang melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh kaum musyrik di Makkah.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya…”
Teguran ini dikemukakan dengan rangkaian sepuluh ayat, dan diakhiri dengan:
“Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Allah adalah suatu peringatan” (QS ‘Abasa [80]: 11).
Nabi berpaling dan sekadar bermuka masam ketika seseorang mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat; hakikatnya dapat dinilai sudah sangat baik bila dikerjakan oleh manusia biasa. Namun karena Muhammad Saw. adalah manusia pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang dalam
istilah Al-Quran disebut zanb (dosa).
Dalam hal ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar, sayyiat al-muqarrabin, yang berarti “kebajikan-kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa (bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan.”
–oo0oo–
Disadari sepenuhnya bahwa uraian tentang Nabi Muhammad Saw. amat panjang, yang dapat diperoleh secara tersirat maupun tersurat dalam Al-Quran, maupun dari sunnah, riwayat, dan pandangan para pakar. Tidak mungkin seseorang dapat menjangkau dan menguraikan seluruhnya, karena itu sungguh tepat kesimpulan yang diberikan oleh penyair Al-Bushiri,
“Batas pengetahuan tentang beliau, hanya bahwa beliau adalah seorang manusia, dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk Allah seluruhnya.”
Allahumma shalli wa sallim ‘alaih.
Disunting dari buku WAWASAN AL-QURAN, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites